“AYAT-AYAT
CINTA”
Sebelumnya kita
sudah pernah mendengar tentang novel ayat-ayat cinta yang berhasil merebut
perhatian publik lalu berhasil laku keras pula di dunia perfilman. Yang juga
membanggakan, novel tersebut tidak hanya menggebrak di Indonesia,di Negara
jiran seperti brunei, Malaysia dan singapura, novel ini sangat digemari, sehingga
menjadi best seller dalam karya sastra modern. Seperti novel-novel islami yang
kebanyakan mencoba menebarkan dakwah melalui sebuah karya seni, namun setelah
ditelaah lebih lanjut ternyata novel ini merupakan gabungan dari novel islami,
budaya dan novel cinta yang banyak sekali disukai anak-anak muda pada umumnya.
Dengan kata lain, novel ini merupakan sarana yang tepat sebagai media
penyaluran dakwah yang tepat kepada siapa saja untuk yang ingin mengetahui
lebih banyak tentang islam, khususnya para kawula muda yang kelak akan menjadi
penerus bangsa. Di tugas kali ini saya akan mengapresiasikan tentang novel fenomenal
ini, yaitu ayat-ayat cinta (sebuah novel pembangun jiwa), karya Habiburrahman
El Shirazy, seorang sarjana lulusan mesir di Al-Azhar University Cairo. Novel
ini menurut saya bukan hanya sekedar bacaan atau sekadar novel belaka, akan
tetapi bisa menjadi motivasi hidup seorang muslim atau muslimah untuk menjadi
lebih bijak dan lebih balk dalam menjalani hidup ini. Saya sangat mengagumi
tokoh Fahri dalam novel ini, tokoh yang menjadi inspirasi saya dalam mencari
jalan yang lurus demi mendapat ridha Allah swt. Saya bahkan berharap mendapat
pendamping seperti fahri, menjadi wanita yang beruntung seperti aisha dan
maria.
Dalam novel ini
penulis menggambarkan suasana mesir. Halaman pertama menceritakan suasana mesir
di musim panas. Tokoh utama disini adalah pemuda asal Indonesia yaitu Fahri,
yang diceritakan dalam kehidupannya sehari-hari. Penulis sangatlah pintar untuk
merangkai kata-kata didalam novel ini, bahkan kita sebagai pembaca seakan-akan
menjadi tokoh fahri dalam novel ini. Hal ini berhasil dirasakan karena penulis
menggunakan pencitraan orang pertama “aku”. Yang menarik dari novel ini adalah
kepandaian penulis yang menyisipkan pesan-pesan moral dalam ceritanya. Disini
penulis juga mampu menyampaikan dakwah-dakwahnya secara halus. Kitapun disini
bisa memperbaiki pembelajaran tentang islam setelah membaca dialog-dialog di
dalam novel ini. Dalam novel ini penulis juga mengajarkan kesabaran, menahan
diri dari kesusahan dalam menjalankan perintah-perintah Allah swt perintahkan
dengan ridha dan yakin akan pahala yang akan didapat. Seperti yang terdapat
dalam novel Fahri mahasiswa asal Indonesia, yang sabar untuk menahan diri
sekuat tenaga untuk tidak mengerjakan kemaksiatan yang terjadi di hadapannya,
ujian demi ujian yang dilewati oleh tokoh utama (Fahri) dengan cara baik dan
adil, karena di novel ini terdapat juga sebuah cerita mengisahkan orang yang
tidak tahu batasan hubungan terhadap lawan jenis dalam ajaran islam.
Novel ini juga
termasuk novel yang romantis, karena mengandung kisah perjalanan cinta dua anak
manusia yang berbeda latar belakang dan budayanya, yang satu adalah mahasiswa
dari Indonesia yang sedang menjalankan s2 di universitas Al-Azhar mesir, dan
yang satunya lagi mahasiswa asal jerman yang kebetulan juga sedang menjalankan
pendidikannya di mesir. Berteman dengan panas
dan debu Mesir. Bersosialisasi dengan berbagai macam target dan kesederhanaan
hidup. Bertahan dengan menjadi penerjemah buku-buku agama. Belajar di Mesir,
membuat Fahri dapat mengenal Maria, Nurul, Noura, dan Aisha. Maria Grigis
adalah tetangga satu flat Fahri, yang beragama Kristen Koptik tapi mengagumi Al
Quran. Dan menganggumi Fahri. Kekaguman yang berubah menjadi cinta. Sayangnya,
cinta Maria hanya tercurah dalam diary saja.
Sementara Nurul adalah anak seorang kyai terkenal,
yang juga menimba ilmu di Al Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati pada gadis
manis ini. Sayang rasa mindernya yang hanya anak keturunan petani membuatnya
tidak pernah menunjukkan rasa apa pun pada Nurul. Sementara Nurul pun menjadi
ragu dan selalu menebak-nebak. Sedangkan Noura
adalah tetangga Fahri, yang selalu disika Ayahnya sendiri. Fahri berempati
penuh dengan Noura dan ingin menolongnya. Hanya empati saja. Tidak lebih! Namun
Noura yang mengharap lebih. Dan nantinya ini menjadi masalah besar ketika Noura
menuduh Fahri memperkosanya. Dan yang terakhir
adalah Aisha. Si mata indah yang menyihir Fahri. Sejak sebuah kejadian di
metro, saat Fahri membela Islam dari tuduhan kolot dan kaku, Aisha jatuh cinta
pada Fahri. Dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya.
Novel ini
dimulai Fahri sedang dalam
perjalanan menuju Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terletak di Shubra
El-Kaima, ujung utara kota Cairo, untuk talaqqi (belajar secara face to face
pada seorang syaikh) pada Syaikh Utsman, seorang syaikh yang cukup tersohor di
Mesir. Dengan
menaiki metro, Fahri berharap ia akan sampai tepat waktu di Masjid Abu Bakar
As-Shiddiq. Di metro itulah ia bertemu dengan Aisha. Aisha yang saat itu dicaci
maki dan dihina oleh orang-orang Mesir karena memberikan tempat duduknya pada
seorang nenek berkewarganegaraan Amerika, ditolong oleh Fahri. Pertolongan
tulus Fahri memberikan kesan yang berarti pada Aisha. Mereka pun berkenalan.
Dan ternyata Aisha bukanlah gadis Mesir, melainkan gadis Jerman yang juga
tengah menuntut ilmu di mesir. Di Mesir Fahri tinggal bersama dengan keempat orang
temannya yang juga berasal drai Indonesia. Mereka adalah Siful, Rudi, Hamdi,
dan Misbah. Mereka tinggal di sebuah apartemen sederhana yang mempunyai dua
lantai, dimana lantai dasar menjadi tempat tinggal Fahri dan empat temannya,
sedangkan yang lantai atas ditemapati oleh keluarga Kristen Koptik yang
sekaligus menjadi tetangga mereka. Keluarga ini terdiri dari Tuan Boutros,
Madame Nahed dan dua orang anak mereka, yaitu Maria dan Yousef. Walau keyakinan mereka berbeda, tapi antara keluarga Fahri
dan Tuan Boutros terjalin hubungan yang sangat baik. Terlebih Fahri dan Maria
berteman begitu akarab. Fahri menyebut Maria sebagai gadis koptik yang aneh.
Bagaimana tidak, Maria mampu menghafal surat Al-Maidah dan surat Maryam.
Selain bertetangga dengan keluarga Tuan Boutros,
Fahri juga mempunyai tetangga lain berkulit hitam yang pelakuannya berbanding seratus
perset dengan keluarga Boutros. Kepala keluarga ini bernama Bahadur. Istrinya
bernama madame Syaima dan anak-anaknya bernama Mona, Suzanna, dan Noura.
Bahadur, madame Syaima, Mona, dan Suzanna sering
menyiksa noura karena rupa serta warna rambut Noura yang berbeda dengan mereka.
Noura berkulit putih dan berambut pirang. Ya, nasib Noura memang malang.
Suatu malam Noura diusir Bahadur dari rumah. Noura
diseret ke jalan sembari dicambuk. Tangisannya membuat fahri tidak tega melihat
Noura diperlakukan demikian oleh Bahadur. Ia meminta Maria melalui sms untuk
menolong Noura. Fahri tidak bisa menolong Noura secara langsung karena Noura
bukan muhrimnya. Maria pun bersedia menolong Noura malam itu. Ia membawa Noura
ke flatnya. Fahri dan Maria berusaha mencari
tahu siapa keluarga Noura sebenarnya. Mereka yakin Noura bukanlah anak Bahadur
dan madame Syaima. Dan benar. Noura bukan anak mereka. Noura yang malang itu
akhirnya bisa berkumpul bersama orang-orang yang menyayanginya. Ia sangat
berterima kasih pada Fahri dan Maria. Sementara
itu, Aisha tidak dapat melupakan pemuda yang baik hati mau menolongnya di metro
saat itu. Aisha rupanya jatuh hati pada Fahri. Ia meminta pamannya Eqbal untuk
menjodohkannya dengan Fahri. Kebetulan, paman Eqbal mengenal Fahri dan Syaik
Utsman. Melalui bantuan Syaik Utsman, Fahri pun bersedia untuk menikah dengan
Aisha. Mendengar kabar pernikahan Fahri, Nurul
menjadi sangat kecewa. Paman dan bibinya sempat datang ke rumah Fahri untuk
memberitahu bahwa keponakannya sangat mencitai Fahri. Namun terlambat! Fahri
akan segera menikah dengan Aisha. Oh, malang benar nasib Nurul. Dan pernikahan Fahri dengan Aisha pun berlangsung. Fahri
dan Aisha memutuskan untuk berbulan madu di sebuah apartemen cantik selama
beberapa minggu. Sepulang dari ‘bulanmadu’nya, Fahri mendapat kejutan dari
Maria dan Yousef. Maria dan adiknya itu datang ke rumah Fahri untuk memberikan
sebuah kado pernikahan. Namun Maria tampak lebih kurus dan murung. Memang, saat
Fahri dan Aisha menikah, keluarga Boutros sedang pergi berlibur. Alhasil,
begitu mendengar Fahri telah menjadi milik wanita lain dan tidak lagi tinggal
di flat, Maria sangat terpukul. Kebahagian Fahri dan Aisha tidak bertahan lama
karena Fahri harus menjalani hukuman di penjara atas tuduhan pemerkosaan terhadap
Noura. Noura teramat terluka saat Fahri memutuskan untuk menikah dengan Aisha.
Di persidangan, Noura yang tengah hamil itu memberikan kesaksian bahwa janin
yang dikandungnya adalah anak Fahri. Pengacara Fahri tidak dapat berbuat
apa-apa karena ia belum memiliki bukti yang kuat untuk membebaskan kliennya
dari segala tuduhan. Fahri pun harus mendekam di bui selama beberapa minggu.
Satu-satunya saksi kunci yang dapat meloloskan Fahri dari fitnah kejam Noura
adalah Maria. Marialah yang bersama Noura malam itu (malam yang Noura sebut
dalam persidangan sebagai malam dimana Fahri memperkosanya). Tapi Maria sedang terkulai lemah tak berdaya. Luka hati
karena cinta yang bertepuk sebelah tangan membuatnya jatuh sakit. Tidak ada
jalan lain. Atas desakan Aisha, Fahri pun menikahi Maria. Aisha berharap,
dengan mendengar suara dan merasakan sentuhan tangan Fahri, Maria tersadar dari
koma panjangnya. Dan harapan Aisha menjadi kenyataan. Maria dapat membuka
matanya dan kemudian bersedia untuk memberikan kesaksian di persidangan.
Alhasil, Fahri pun terbebas dari tuduhan Noura. Dengan kata lain, Fahri dapat
meninggalkan penjara yang mengerikan itu. Noura
menyesal atas perbuatan yang dilakukannya. Dengan jiwa besar, Fahri memaafkan
Noura. Dan, terungkaplah bahawa ayah dari bayi dalam kandungan Noura dalah
Bahadur. Fahri, Aisha, dan Maria mampu menjalani rumah tangga mereka dengan
baik. Aisha menganggap Maria sebagai adiknya, demikian pula Maria yang
menghormati Aisha selayaknya seorang kakak. Tidak ada yang menduga jika maut akhirnya
merenggut Maria. Namun Maria beruntung karena sebelum ajal menjemputnya, ia
telah menjadi seorang mu’alaf.
Seperti yang
kita ketahui bahwa novel ini pernah di filmkan, tetapi saya merasa banyak
sekali perbedaan antara film dengan novel nya, antara lain :
§ Di novel tokoh Maria tinggal bersama Tuan
Boutros (ayah), Madame Nahed (ibu), dan Yousef (adik lelakinya).
Sedangkan di film Maria hanya tinggal bersama Madame Nahed.
§ Di novel, adik
dan ibu maria berulang tahun, Fahri memberi hadiah ulang tahun kepada Madame
Nahed sebuah tas tangan dan untuk Yousef sebuah kamus bahasa Perancis sedangkan
di film tidak ada adegan seperti itu.
§ Di novel sejak
tahu Fahri menikahi Aisha, Maria sakit hati dan langsung jatuh sakit. Sedangkan
di film Menikahnya Fahri dengan Aisha tidak mengakibatkan Maria jatuh sakit dan
sakitnya Maria justru karena ditabrak mobil
§ Di novel saat
menjelang akhir hayatnya, Maria meminta Fahri untuk mengajarkannya berwudhu
karena dia bermimpi bahwa dia tidak dapat masuk sorga kalau tidak berwudhu
sedangkan di film Menjelang akhir hayatnya, Maria meminta Fahri untuk
mengajarkannya shalat dan dia tidak diceritakan bermimpi