REFERENSI SEBAGAI PENANDA KOHESI DALAM CERPEN “TABEL MANDO” KARYA SIJARMI/JACENA
A. PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat
komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak dirinci dalam bentuk bunyi,
frasa, ataupun kalimat secara terpisah-pisah, melainkan bahasa dipakai dalam
wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnya
kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga
mengacu kembali ke kalimat pertama dan seterusnya. Rangkaian kalimat yang
berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu
membentuk kesatuan yang dinamakan wacana (Alwi, 1993:471).
Selain itu, beberapa pakar bahasa telah memberikan
batasan atau pengertian wacana dari berbagai sumber. Dari sumber-sumber itu ada
persamaan dan perbedaan pendapat antara pakar-pakar tersebut. Untuk memperoleh
batasan yang relatif baik sesuai dengan tujuan maka dari sumber-sumber
ditetapkan unsur-unsur penting wacana sebagai berikut: satuan bahasa; terlengkap,
terbesar, tertinggi; di atas kalimat atau klausa; teratur, tersusun rapi, rasa
koherensi; berkesinambungan, kontinuitas; rasa kohesi/rasa kepaduan;
lisan/tulis; awal dan akhir yang nyata.
Berdasarkan
unsur-unsur penting di atas, Tarigan (1987:27) mengatakan bahwa wacana adalah
satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau
klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi, berkesinambungan, mempunyai
awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.
Untuk dapat menyusun sebuah wacana
yang apik, yang kohesif dan koheren diperlukan berbagai alat wacana, baik yang
berupa aspek gramatikal maupun aspek semantik. Menurut Tarigan (1987:70),
wacana yang ideal adalah wacana yang mengandung seperangkat proposisi yang
saling berhubungan untuk menghasilkan kepaduan atau kohesi. Di samping itu,
juga dibutuhkan keteraturan susunan yang menimbulkan koherensi. Dalam
kenyataannya tidak semua penutur bahasa dapat memahami aspek-aspek tersebut
sehingga tidak jarang dijumpai wacana yang kurang kohesif.
Kohesi
(cohesion) memiliki kedudukan yang amat penting dalam wacana. Jika kita
setuju terhadap pandangan bahwa wacana merupakan “jaringan” atau “tenunan”
unsur-unsur pembentuknya (Djawanai, 1977:2) dalam Gatra, 1990), kohesi adalah
salah satu unsur wacana yang berfungsi sebagai pengantar jaringan unsur-unsur
tersebut sehingga membentuk wacana yang utuh. Jika jaringan itu berupa jaringan
semantik, kohesilah yang merupakan relasi semantik yang membentuk jaringan
tersebut. Bila jaringan itu berupa jaringan gramatikal, kohesi berfungsi
sebagai pengatur relasi gramatikal bagian-bagian wacana. Di samping itu, jika
jaringan-jaringan itu mengarah ke kesatuan topik (topic unity), kohesilah
yang bertugas menjaga kesinambungan topik (topic continuity). Oleh
karena itu, kohesi adalah salah satu sarana pembangun keutuhan wacana.
Kohesi,
sebagai aspek formal bahasa dalam wacana organisasi sintaktik, merupakan wadah
kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini
berarti pula bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana,
baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky,
1976:26; dalam Tarigan, 1987:96).
Suatu
teks atau wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian
secara bentuk bahasa (Language form) terhadap ko-teks (situasi dalam
bahasa). Secara keseluruhan kohesi dibedakan menjadi dua, yaitu kohesi
gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical
cohesion). Kohesi gramatikal meliputi pengacuan (reference), penggantian
(substitution), dan pelesapan (ellipsis). Kohesi leksikal
meliputi perpaduan leksikal. Sementara itu, penghubung atau perangkaian (conjunction)
terletak antara kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday dan Hasan,
1976:6).
Karena
pentingnya kehadiran kohesi tersebut, kebanyakan tulisan tentang wacana tidak
kohesif, jika belum membahas perihal kohesi. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini akan dicoba dibahas referensi sebagai penanda kohesi dalam cerpen Tabel Mando.
Alasan secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian adalah
bentuk cerpen yang ringkas namun tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi
yang tinggi agar tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan secara khusus
dipilihnya cerpen berjudul Tabel Mando karena cerpen ini merupakan salah
satu karya terbaik Sijarmi/Jacena yang terdapat dalam kumpulan antologi cerpen Senandung Rindu Natuna. Buku
kumcer yang pertama di Natuna ini diluncurkan pada Minggu 30 Oktober 2011 di
Hotel Natuna dan dipilih dengan cerpen terbaik termasuk karya Sijarmi/Jacena
“Tabel Mando” yang menyabet juara ketiga.
Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini akan menggunakan
seluruh kalimat yang ada pada wacana cerpen tersebut. Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah
kohesi dan konteks situasi menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam
wacana.
2.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan permasalahan
dari penelitian ini adalah:
- Bagaimanakah kohesi gramatikal pada cerpen ”Tabel Mando”?
2. Jenis
referensi apa saja yang ditemukan dalam penulisan cerpen Tabel Mando?
3.
TUJUAN
PENELITIAN
Secara
khusus tulisan ini bertujuan mendeskripsikan jenis-jenis referensi yang
ditemukan dalam cerpen Tabel Mando. Sedangkan secara umum diharapkan dapat
ikut memberi sumbangan terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia,
dengan usaha menemukan kaidah-kaidah yang khusus dalam rangka pembakuan bahasa
Indonesia. Tujuan lain ikut memberi sumbangan dalam bidang pengajaran bahasa
Indonesia
4.
MANFAAT
PENELITIAN
Penelitian
ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasil penelitian
ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan acuan dalam usaha memperoleh
pengetahuan dan pemahaman sehubungan dengan studi wacana secara umum dan
tentang referensi sebagai penanda kohesi dalam cerpen Tabel Mando secara
khusus. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk bahan
diskusi, pendidikan dan pengajaran, penyusunan materi dan model wacana dalam
cerpen untuk para peserta didik.
B.
LANDASAN
TEORI
1.
HAKIKAT
WACANA
a.
Pengertian
Wacana
Cook (1989: 56) menyebut tiga hal yang sentral dalam
pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Teks
adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar
kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek
suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang
berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam
bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks
bersama-sama. Pendapat tersebut sejalan dengan pernyataan Harimurti (2008: 204)
bahwa wacana atau dalam Bahasa Inggrisnya ialah 'Discourse' merupakan satuan
bahasa yang lengkap, yaitu dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Selanjutnya, Kridalaksana (2008:334)
juga mempertegas bahwa dalam satuan kebahasaan, kedudukan wacana berada pada
posisi besar dan paling tinggi. Hal ini disebabkan wacana-sebagai satuan
gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistikmengandung semua unsur
kebahasan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi.
Berdasarkan beberapa definisi dan pernyataan tersebut,
jelas bahwa wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan
paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata,
frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada
dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian
dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan berbagai alat (piranti) yang cukup banyak. Oleh karena
itu, kajian tentang wacana menjadi wajib ada dalam proses pembelajaran bahasa.
Tujuanya, tidak lain, untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami dan
memakai bahasa dengan baik dan benar.
b.
Kohesi Gramatikal
Teori yang digunakan dalam pemecahan masalah adalah
teori kohesi yang dikembangkan oleh M.A.K Halliday dan Ruqaiya Hasan dalam
bukunya berjudul Cohesion in English (1976). Kohesi adalah alat untuk
menyatakan adanya kepaduan di dalam suatu wacana atau paragraf, dan paragraf
merupakan tataran di atas kalimat (Riana, 1985:71). Selanjutnya, Halliday dan
Hasan (1976:1) mengatakan bahwa teks adalah pemakaian bahasa baik lisan maupun
tulisan, dalam bentuk prosa maupun puisi, dalam dialog maupun monolog yang
membentuk satu kesatuan gagasan. Teks inilah yang sering disebut dengan wacana.
Kohesi muncul jika penafsiran tertentu di dalam sebuah teks sangat bergantung
pada penafsiran unsur yang lain di dalam teks yang sama.
Kohesi adalah konsep semantik seperti apa yang
dikemukakan oleh M.A.K Halliday dan Ruqaiya Hasan (1976:4) yang dikutip oleh
Riana (1989:5) sebagai berikut.
The concept of cohesion is semantic one: it refers
to relation of meaning that exist within the text, and that define it as text.
Cohesion occur where the Interpretation of some element in the discourse is
dependent on that of another. The one presupposes the order, in the sense that
it cannot be effectively decoded except by recourse to it. When this happens, a
relation of cohesion is setup, and two elements the presuppotion of cohesion is
set up, and two element the presuuppotion and the presupposed, are there by
least potentially intergrated into text.
(Kohesi adalah sebuah konsep semantik, yang mengacu
pada hubungan semantik, yang hadir di dalam teks, dan yang menentukannya
sebagai sebuah teks. Kohesi terjadi jika penafsiran unsur-unsur di dalam wacana
tergantung pada penafsiran-penafsiran yang lain. Unsur yang dipraanggapkan
kepada unsur yang lain, dalam pengertian bahwa unsur itu tidak dapat disusun
secara baik kecuali dengan unsur lainnya. Bila hubungan ini terjadi, maka
terjadilah hubungan kohesi, dan dua unsur yang mempraanggapkan dan yang
dipraanggapkan paling tidak secara potensial sudah terangkum di dalam teks).
Halliday
dan Hasan (1976) membedakan kohesi menjadi dua, yaitu kohesi gramatikal (grammatical
cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Kohesi gramatikal
meliputi penunjukan (reference), penggantian (substitution), dan
pelesapan (ellipsis). Sedangkan, kohesi leksikal meliputi perpaduan
leksikal (lexical cohesion). Penghubung (conjuction) terleletak
antara keduanya, baik secara kohesi leksikal maupun secara kohesi gramatikal.
Selanjutnya,
dijelaskan bahwa penunjukan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekseforis (exophora),
yaitu menunjuk sesuatu yang berada di luar teks (sejalan dengan situasi),
dan endoforis (endophora) menunjuk sesuatu yang berada di dalam teks.
Tipe endoforis ini dibedakan menjadi tiga, yaitu persona, demonstratif, dan
komparatif.
Penggantian
dan pelesapan masing-masing dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu nominal,
verbal, dan klausa. Perpaduan leksikal dibedakan menjadi dua, yaitu kolokasi
dan reiterasi. Reiterasi meliputi, sinonim, superordinat, pengulangan, dan kata
jenerik. Perangkaian dibedakan menjadi empat, yaitu aditif, adversatif, kausal,
dan temporal. Dilihat dari penjelasan kohesi tersebut, yang paling sesuai
dengan tulisan ini adalah referensi atau penunjukan apa saja yang ditemukan
dalam penulisan cerpen Tabel Mando.
c.
Referensi
Referensi
adalah hubungan antara referen dan lambang yang digunakan untuk mewakilinya.
Dengan kata lain, referensi merupakan unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh
unsur bahasa, misalnya benda yang disebut rumah adalah referen kata rumah
(lihat Kridalaksana, 1982:144).
Di
dalam sebuah wacana ada berbagai acuan seperti pelaku perbuatan, penderita
perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan
tempat perbuatan. Pengacuan tersebut sering kali diulang untuk memperjelas
makna (Alwi et al., 1993:495). Untuk mendapatkan wacana yang kohesif dan
koheren, pengacuan harus jelas. Referensi dapat ditinjau dari segi maujud
menjadi acuannya. Dalam kaitan ini, Halliday dan Hasan (1976:31) membagi
referensi menjadi dua, yaitu referensi eksoforis dan endoforis. Referensi
eksoforis adalah pengacuan terhadap maujud yang terdapat di luar teks (bahasa),
seperti manusia, hewan, alam sekitar, atau suatu kegiatan. Referensi endoforis
adalah pengacuan terhadap maujud yang terdapat di dalam teks (bahasa), teks
yang biasanya diwujudkan oleh pronomina, baik pronomina persona, pronomina
demonstratif, maupun pronomina komparatif. Referensi endoforis ini, yang
pengacuannya terdapat dalam teks atau bahasa, ditinjau dari arah acuannya dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu referensi anaforis dan referensi kataforis.
d.
Hakikat Cerpen
Abrams
(1993: 193) menyatakan bahwa “A short story is a brief work of fiction, and
most of the term for analyzing the component elements, the types
and the various narrative techniques of the novel are applicable to the short
story as well”. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita
pendek merupakan wacana fiksi yang ditulis dalam bentuk naratif.
Meskipun isinya lebih ringkas dari novel dan bersifat fiktif tapi
penulisan cerpen tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi
agar menjadi sebuah wacana yang utuh dan padu. Selain itu, aspek
kontekstual juga sangat penting dalam memahami suatu cerita pendek.
Masalah kohesi dan konteks sosial menyangkut masalah ketergantungan
unsur-unsur dalam wacana.
C.
METODE
PENELITIAN
1.
JENIS
PENELITIAN
Penelitian ini mengkaji tentang kepaduan wacana yang ditinjau dari
aspek gramatikal yang melatarbelakangi
wacana cerita pendek. Berdasarkan hal tersebut maka jenis penelitian ini adalah
kualitatif deskriptif. Menurut Sutopo (2002: 111), penelitian kualitatif
deskriptif adalah penelitian yang memusatkan pada deskripsi yang lengkap dan
mendalam atas bagaimana dan mengapa sesuatu itu terjadi.
Tahap penyediaan data dilakukan untuk mendapatkan fenomena lingual
khusus yang mengandung keterkaitan dengan rumusan masalah. Penyediaan data
dilakukan untuk kepentingan analisis. Kemudian, analisis
data dimulai tepat pada saat penyediaan data tertentu yang relevan
selesai dilakukan; dan analisis yang sama diakhiri manakala kaidah yang
berkenaan dengan objek yang menjadi masalah itu telah ditemukan. (Sudaryanto, 1988:6)
2.
DATA DAN SUMBER DATA
Sudaryanto (1988: 9) menyatakan bahwa data adalah bahan
penelitian, dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi.
Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan, karena di dalam
bahan itulah terdapatnya objek penelitian yang dimaksud. Dengan diolahnya bahan
itu diharapkan dapat diketahui hakikat objek penelitian. Jadi, dengan rumusan
lain, data pada hakikatnya merupakan objek sasaran penelitian beserta dengan
konteksnya.
Data dalam penelitian ini adalah satuan lingual berupa kalimat
yang mendukung kepaduan dan keutuhan wacana cerpen ”Tabel Mando” karya
Sijarmi/Jacena ditinjau dari kohesi gramatikal berupa referensi penanda kohesi.
Sumber data dari penelitian ini adalah cerpen berjudul “Tabel Mando”
karya Sijarmi/Jacena dalam buku kumpulan cerita pendek berjudul Sepasang Rindu Natuna.
D.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
HASIL PENELITIAN
1.
Referensi Anaforis
Dalam
kaitannya dengan permasalahan referensi anaforis dan referensi kataforis,
Kaswanti Purwo (1987:10) menyatakan bahwa persyaratan bagi suatu konstituen
yang dapat disebut anafora atau katafora adalah bahwa konstituen tersebut harus
berkoreferensi (memiliki referen yang sama) dengan konstituen yang diacunya.
Salah satu akibat dari konstituen-konstituen bahasa secara linear adalah
memungkinkan adanya konstituen tertentu yang sudah disebut sebelumnya, baik
dalam bentuk pronomina persona maupun dalam bentuk pronomina lainnya. Terlihat
dalam kutipan Dan Pak Bujanglah yang pertama-tama merasa paling bertanggung
jawab atas kebutuhan anaknya itu. Enklitik –nya menunjuk kembali
pada konstituen Pak Bujang yang sudah disebut sebelumnya. Pengacuan
seperti itulah yang disebut dengan referensi anaforis.
a.
Referensi Anaforis berupa pronomina
persona
Referensi anaforis mengacu pada bentuk yang sudah
disebutkan sebelumnya (letak kiri). Referensi anaforis biasanya berupa
pronomina persona dan pronomina demonstratif. Referensi anaforis yang berupa
pronomina persona dapat berwujud enklitik -nya dan kata ganti orang
ketiga baik tunggal maupun jamak.
Pronomina
persona merupakan bentuk deiksis yang mengacu pada orang secara berganti-ganti.
Hal ini sangat bergantung pada ”kiat” yang sedang diperankan oleh pelibat
wacana, baik sebagai pembicara (persona pertama), pendengar (persona kedua)
atau yang dibicarakan (persona ketiga) (lihat Kaswanti Purwo, 1987). Pronomina
persona ketiga yang berupa enklitik –nya mengacu pada bentuk yang telah
disebutkan pada bagian sebelumnya. Dengan kata lain, enklitik –nya cenderung
bersifat anaforis. Berikut ini disajikan pemakaian pronomina persona sebagai
referensi anaforis dalam cerpen Bali Tabel Mando.
(1) Mak Dare adalah wanita yang tegar dan kuat. Ia senantiasa mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Dalam
kesehariannya ia menjadi pemalok sagu
dan menjual kerupuk atom yang dititipkan ke warung-warung. Itu semua ia lakukan demi membantu suaminya menafkahi keluarga. (hlm. 123)
Pada
contoh wacana (1) Mak Dare yang terdapat pada kalimat pertama dalam
wacana (1) direferen atau diacu dengan pronomina persona ketiga tunggal, yaitu ia
pada kalimat pertama, kedua, dan keempat. Selain itu, Mak Dare yang
terdapat pada kalimat keempat dalam wacana (1) itu juga direferen dengan
pronomina persona yang berupa enklitik - nya pada kalimat kelima. Pada
contoh (1) ini referensi itu baru dapat diketahui setelah melihat hubungannya
dengan bagian-bagian lain yang disebutkan sebelumnya (letak kiri). Referensi ia
baru dapat diketahui mengacu pada persona tertentu, yaitu Mak Dare,
karena telah disebutkan pada bagian sebelumnya, begitu pula halnya dengan
referensi yang berupa enklitik -nya juga mengacu kepada Mak Dare.
(2) Mak Dare dan keluarganya tengah
makan malam di rumah mereka. Sambil menyantap makanan seadanya itu, mereka tampak menikmatinya.
(hlm. 123)
Pada
contoh wacana (2), terjadi proses referensi, yaitu Mak Dare pada kalimat
pertama, direferen atau diacu dengan pronomina persona yang berupa enklitik -nya
pada kalimat pertama, dan kedua. Dalam wacana itu yang dimaksud dengan
enklitik -nya adalah Mak Dare, hal itu dapat diketahui dari konteks
kalimat setelah melihat hubungannya dengan bagian-bagian lain yang telah
disebutkan sebelumnya.
Referensi
seperti yang terlihat pada contoh di atas sangat mendukung kekohesifan dan
kekoherenan wacana yang dibangunnya. Dengan memanfaatkan referensi itu sebagai
alat pembangun wacana, pengulangan unsur-unsur yang sama dalam penulisan akan
terhindar sehingga wacana itu tidak monoton. Wacana yang disusun menjadi tampak
lebih variatif dan lebih apik.
b.
Referensi Anaforis berupa Pronomina
Demonstratif
Pronomina
demonstratif merupakan kata-kata yang menunjuk pada suatu benda. Kata-kata itu
bersifat deiktis, yakni menunjuk kepada hal umum, ihwal ataupun tempat.
Pronomina demonstratif umum menurut Alwi et al. (1993:287) terdiri atas ini
dan itu. Kata itu
mengacu ke referen yang agak jauh dari pembicara, ke masa lampau, atau ke
informasi yang sudah disampaikan.
Di
dalam pemakaiannya, pronomina demonstratif ini dan itu diletakkan sesudah nomina yang dibatasinya.
Berikut contoh pemakaiannya dalam wacana cerpen Tabel Mando.
(3) Suara senda gurau
terdengar sayup-sayup dibawa hembusan angin laut Natuna. Suara itu berasal dari gubuk kecil milik Pak Bujang
dan Mak Dare di kampong kecil yang tak jauh dari pantai. (hlm. 122)
Pada
contoh wacana (3) terjadi proses referensi, yaitu senda gurau pada
kalimat pertama direferen atau diacu dengan pronomina demonstratif itu pada
kalimat kedua. Dalam wacana (3) yang dimaksud dengan pronomina demonstratif itu
pada kalimat kedua adalah senda gurau dapat diketahui mengacu pada
persona tertentu setelah melihat konteks sebelumnya.
Penggunaan
kata itu yang pengacuannya bersifat anaforis terhadap wacana di atas
dapat menciptakan wacana yang apik. Di samping itu, juga dapat dilakukan dengan
pemakaian kata ini yang bersifat anaforis, seperti pada contoh berikut.
(4) Dari raut wajah suaminya itulah Mak Dare terkenang kembali pada sepak terjang suaminya demi membahagiakan
keluarga. Ingatan semacam itu kian mengukuhkan akar cintanya kepada sang
suami. Tapi kali ini, sang suami
tercinta itu hendak pergi melaut pada cuaca yang tengah tidak bersahabat.
(hlm.124)
Contoh
wacana (4) juga terjadi proses referensi, yaitu sepak terjang suaminya demi membahagiakan
keluarga pada kalimat kedua direferen atau diacu dengan pronomina
demonstratif ini pada kalimat keempat. Dalam wacana (4) yang dimaksud
dengan pronomina demonstratif ini pada kalimat keempat adalah sepak terjang
suaminya demi membahagiakan keluarga. Itu diketahui mengacu pada persona tertentu setelah
melihat konteks sebelumnya.
c.
Referensi
Anaforis Kedefinitan atau Ketakrifan
Untuk
mengungkapkan sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dapat dilakukan dengan
strategi penyulihan yang koreferensial dengan menggunakan pemarkah ketakrifan
atau kedefinitan. Pemarkah-pemarkah yang sering digunakan sebagai penyulih
adalah tersebut, begini, dan begitu. Berikut adalah pemakaiannya
dalam cerpen Tabel Mando.
(5)
Di wajah
suaminya yang telah berusia lanjut itu begitu banyak kerutan,
terutama di dahi. Kulitnya yang hitam legam sudah cukup membuktikan bahwa Pak
Bujang memang telah lama akrab dengan lautan. (hlm. 124)
Pada
contoh wacana (5) terjadi proses referensi, dengan pemarkah kedefinitan, yaitu begitu mengacu kepada berusia lanjut yang
sudah disebutkan pada bagian sebelumnya.
2.
Referensi Kataforis
Referensi
kataforis mengacu pada bentuk yang ada di belakangnya (letak kanan). Pemakaian
referensi yang bersifat kataforis sangat terbatas, tidak seperti pemakaian
referensi anaforis yang sangat dominan dalam cerpen Tabel Mando. Jika
koreferensi suatu bentuk mengacu pada konstituen yang berada di sebelah
kanannya, koreferensi itu disebut katafora. Pada dasarnya, referensi anafora
dan katafora dimarkahi oleh bentuk persona, bentuk bukan persona, dan yang
berupa konstituen nol (Kaswanti Purwo, 1987:105). Referensi meliputi pronomina
persona, pronomina demonstratif, dan pemarkah definit. Berikut adalah uraian
setiap bagian referensi tersebut.
a.
Referensi Kataforis berupa
Pronomina Persona
Referensi
kataforis dapat juga berbentuk pronomina persona, seperti halnya terdapat pada
referensi anaforis. Wujudnya kata ganti orang ketiga, baik tunggal maupun
jamak. Berikut contoh pemakaiannya dalam cerpen Tabel Mando.
(6) Sambil mempersiapkan peralatan melaut yang akan dibawanya, Pak
Bujang menjawab, “ Dare, kau jangan terlalu terlalu mencemaskan aku seperti
itu. Lebih baik kau mendoakanku saja agar aku selamat. (hlm.125)
Pengacuan
yang bersifat kataforis sangat jarang ditemukan, tidak seperti pengacuan
anaforis yang sangat dominan pemakaiannya. Pada contoh wacana (6) kata nya mengacu
pada konsituen di belakangnya, yaitu Pak Bujang.
b.
Referensi Kataforis berupa
Pronomina Demonstratif
Referensi
kataforis dapat juga berbentuk pronomina demonstratif, seperti halnya terdapat
pada referensi anaforis. Di dalam pemakaiannya, pronomina demonstratif ini dan itu diletakkan sebelum
nomina yang dibatasinya. Berikut contoh pemakaiannya dalam wacana cerpen Tabel
Mando
(7) Pada saat itu, Mak Dare
tengah berbicara dengan Pak Bujang.
Mak Dare masih belum puas melarang Pak Bujang pergi ke laut. “Pak, sekarang
cuaca sedang tidak bagus, Bapak jangan memaksakan pergi melaut.”
Pengacuan
untuk pronomina demonstratif yang bersifat kataforis berdasarkan data yang
terkumpul terdapat pada contoh wacan (7) kata itu mengacu pada konsituen di belakangnya, yaitu, berbicara dengan Pak Bujang.
2. PEMBAHASAN
Dominasi
penggunaan aspek referensi sebagai penanda kohesi dalam dalam wacana ini
dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, wacana ini merupakan sebuah
wacana naratif yang berciri minimalisme dengan pengungkapan alur cerita yang
didominasi oleh penggunaan dialogdialog singkat, dan dengan tokoh atau
karakter yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita. Sehingga untuk
menghindari penyebutan kembali nama karakter yang sama secara berulang, penulis
cerpen lebih banyak menggunakan pronomina persona atau personal pronouns.
Selain itu dalam setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog
tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan dihampir seluruh
kalimat data dalam wacana.
Selain
itu, secara khusus alasan penggunaan aspek referensi yang mendominasi ini
adalah sebagai upaya pengarang untuk memperkenalkan karakteristik dari
tokoh-tokoh ceritanya. Dalam cerpen ini pengarang berusaha untuk memperkenalkan
karakteristik dari tokoh cerita melalui dialog-dialog minimalis. Hal ini
dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau frasa nomina tertentu yang
merujuk pada karakter cerita secara berulang-ulang. Penyebutan nomina dan frasa
nomina sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti oleh penggunaan pronomina persona yang
merupakan unsur kohesinya.
Jadi,
dari hasil analisis dapat disimpulkan
bahwa pengarang ingin pembaca mengenali dan mempelajari karakteristik dari
tokoh cerita melalui dialog-dialog singkat tersebut. Dengan kata lain, tanpa
melalui komentar dan pendeskripsian yang jelas, pengarang membiarkan pembaca
menginterpretasikan sendiri makna cerita dan karakteristik tokoh melalui
dialog. Hal ini menyebabkan banyaknya penggunaan pengacuan persona dalam cerpen
Tabel Mando. Selanjutnya, pengarang juga berusaha mendeskripsikan
suasana atau situasi dalam cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara
berulang-ulang.
Banyaknya
jumlah pengacuan endofora bersifat
anafora yang mendominasi aspek referensi dalam wacana cerpen Tabel Mando dapat dipahami karena
beberapa alasan, yang pertama, wacana ini berupa cerpen yang tersusun atas
dialog-dialog yang saling berhubungan atau memiliki keterkaitan satu sama
lainnya, dengan beberapa tokoh/karakter yang relatif sama dari awal hingga
akhir cerita, sehingga untuk penyebutan para karakter (setelah penyebutan nama
karakter), penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronomina persona. Yang
kedua, hampir semua pengacuan persona berupa
dalam cerpen ini merupakan pengacuan yang bersifat endofora anaforis,
yakni unsur acuan atau antesedennya berada di sebelah kiri atau telah
disebutkan sebelumnya. Dari data yang dikumpulkan hanya terdapat beberapa
kutipan yang merupakan pengacuan bersifat endofora kataforis.
Selanjutnya,
pengarang juga berusaha mendeskripsikan suasana atau situasi dalam cerita
melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang. Penyebutan nomina
secara berulang ini selalu diikuti oleh pelekatan pengacuan demonstratif berupa
deiktis “ini” di depan
nomina tersebut. Hal ini pula yang melatarbelakangi dominasi dari penggunaan
kohesi gramatikal anaforis jenis referensi demonstratif berupa deiktis
“ini” di dalam wacana cerpen Tabel Mando. Terdapat juga
pelekatan pengacuan demonstratif berupa deiktis “ini” di belakang nomina yang melatarbelakangi referensi penggunaan
kohesi berupa kataforis. Pengarang berupaya untuk mendeskripsikan kepada
pembaca bagaimana situasi atau suasana yang terjadi dalam beberapa alur cerita,
misalnya ketika salah satu tokoh cerita bernama Mak Dare yang secara berulangulang disebutkan
melakukan beberapa aktivitas di kesibukannya
sebagai istri seorang nelayan. Dengan cara ini , pengarang ingin menyiratkan kepada pembaca bahwa Mak
Dare berusaha menunjukkan kasih
sayangnya terhadap keluarga, dengan cara ini juga pembaca dapat memahami dan
ikut merasakan situasi ketegangan yang terjadi jika menjadi sosok Mak Dare.
Pengarang
dalam mengungkapkan sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya menggunakan
referensi dengan strategi penyulihan yang koreferensial dengan menggunakan
pemarkah ketakrifan atau kedefinitan.
Dari
hasil analisis mengenai wacana cerpen tersebut juga dapat disimpulkan bahwa,
memahami sebuah wacana tidak terlepas dari pemahaman mengenai keterkaitan
antara teks dan konteks. Analisis wacana ini membuktikan bahwa teks dan konteks
adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan dalam sebuah wacana. Hal ini
sekaligus membuktikan pendapat dari Halliday dah Hasan (1992: 66) yang
menyatakan bahwa setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam
memusatkan perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.
Selanjutnya,
masing-masing aspek dari kohesi, baik kohesi gramatikal maupun kohesi leksikal,
memiliki peran dalam pembentukan sebuah teks dalam wacana, sehingga wacana
dapat tersusun secara koheren. Wacana cerpen Tabel Mando adalah wacana
yang mempertimbangkan hal-hal tersebut, sehingga meskipun berciri minimalisme
tetapi maksud dan tujuan yang terkandung dalam cerpen tetap tersampaikan secara
jelas. Hal ini kembali membuktikan pendapat Halliday dan Hasan (1976:5) yang
menyatakan bahwa kohesi merupakan satu set kemungkinan yang terdapat dalam
bahasa untuk menjadikan suatu 'teks' itu memiliki kesatuan. Kohesi gramatikal
dalam wacana cerpen ini direalisasikan dalam ke empat jenis piranti aspek
gramatikal, yaitu pengacuan atau referensi, penyulihan atau substitusi,
pelesapan atau elipsis, dan perangkaian atau konjungsi.
E.
PENUTUP
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa referensi adalah hubungan antara
referen dan lambang yang digunakan untuk mewakilinya. Referensi sebagai penanda
kohesi dalam cerpen Tabel Mando dibedakan menjadi (a) referensi anaforis
dan (b) referensi kataforis. Baik referensi anaforis maupun kataforis dapat
diacu oleh konstituen yang berupa pronomina persona, pronomina demonstratif,
dan pemarkah kedefinitan. Dalam tulisan ini, pengacuan yang bersifat kataforis
sangat jarang ditemukan, tidak seperti pengacuan anaforis sangat dominan
pemakaiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Cook,
G. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press.
Halliday,
M.A.K & Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman
House.
Halliday,
M.A.K & Hasan. 1992. Bahasa,
Konteks, dan Teks: Aspek-
aspek bahasa
dalam pandangan semiotik sosial. Terjemahan
(1992). Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada Press.
Kridalaksana,
H. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Rani,
Abdul dkk.2004. Analisis Wacana Sebuah
Kajian Bahasa dalam
Pemakaian. Malang: Bayumedia.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Metode dan Aneka
Teknik
Pengumpulan
Data. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta:
Sebelas
Maret University Press.