bintang jatuh

Sabtu, 08 Desember 2012

REFERENSI PENANDA KOHESI DALAM CERPEN (kohesi gramatikal)


REFERENSI SEBAGAI PENANDA KOHESI DALAM CERPEN “TABEL MANDO” KARYA SIJARMI/JACENA
A.      PENDAHULUAN
1.        LATAR BELAKANG
Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak dirinci dalam bentuk bunyi, frasa, ataupun kalimat secara terpisah-pisah, melainkan bahasa dipakai dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama dan seterusnya. Rangkaian kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan yang dinamakan wacana (Alwi, 1993:471).
Selain itu, beberapa pakar bahasa telah memberikan batasan atau pengertian wacana dari berbagai sumber. Dari sumber-sumber itu ada persamaan dan perbedaan pendapat antara pakar-pakar tersebut. Untuk memperoleh batasan yang relatif baik sesuai dengan tujuan maka dari sumber-sumber ditetapkan unsur-unsur penting wacana sebagai berikut: satuan bahasa; terlengkap, terbesar, tertinggi; di atas kalimat atau klausa; teratur, tersusun rapi, rasa koherensi; berkesinambungan, kontinuitas; rasa kohesi/rasa kepaduan; lisan/tulis; awal dan akhir yang nyata.
Berdasarkan unsur-unsur penting di atas, Tarigan (1987:27) mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi, berkesinambungan, mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.
 Untuk dapat menyusun sebuah wacana yang apik, yang kohesif dan koheren diperlukan berbagai alat wacana, baik yang berupa aspek gramatikal maupun aspek semantik. Menurut Tarigan (1987:70), wacana yang ideal adalah wacana yang mengandung seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan kepaduan atau kohesi. Di samping itu, juga dibutuhkan keteraturan susunan yang menimbulkan koherensi. Dalam kenyataannya tidak semua penutur bahasa dapat memahami aspek-aspek tersebut sehingga tidak jarang dijumpai wacana yang kurang kohesif.
Kohesi (cohesion) memiliki kedudukan yang amat penting dalam wacana. Jika kita setuju terhadap pandangan bahwa wacana merupakan “jaringan” atau “tenunan” unsur-unsur pembentuknya (Djawanai, 1977:2) dalam Gatra, 1990), kohesi adalah salah satu unsur wacana yang berfungsi sebagai pengantar jaringan unsur-unsur tersebut sehingga membentuk wacana yang utuh. Jika jaringan itu berupa jaringan semantik, kohesilah yang merupakan relasi semantik yang membentuk jaringan tersebut. Bila jaringan itu berupa jaringan gramatikal, kohesi berfungsi sebagai pengatur relasi gramatikal bagian-bagian wacana. Di samping itu, jika jaringan-jaringan itu mengarah ke kesatuan topik (topic unity), kohesilah yang bertugas menjaga kesinambungan topik (topic continuity). Oleh karena itu, kohesi adalah salah satu sarana pembangun keutuhan wacana.
Kohesi, sebagai aspek formal bahasa dalam wacana organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini berarti pula bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky, 1976:26; dalam Tarigan, 1987:96).
Suatu teks atau wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa (Language form) terhadap ko-teks (situasi dalam bahasa). Secara keseluruhan kohesi dibedakan menjadi dua, yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Kohesi gramatikal meliputi pengacuan (reference), penggantian (substitution), dan pelesapan (ellipsis). Kohesi leksikal meliputi perpaduan leksikal. Sementara itu, penghubung atau perangkaian (conjunction) terletak antara kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday dan Hasan, 1976:6).
Karena pentingnya kehadiran kohesi tersebut, kebanyakan tulisan tentang wacana tidak kohesif, jika belum membahas perihal kohesi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini akan dicoba dibahas referensi sebagai penanda kohesi dalam cerpen Tabel Mando.
Alasan secara umum dipilihnya cerpen sebagai objek kajian adalah bentuk cerpen yang ringkas namun tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi agar tetap berupa satu wacana utuh. Sedangkan alasan secara khusus dipilihnya cerpen berjudul Tabel Mando karena cerpen ini merupakan salah satu karya terbaik Sijarmi/Jacena yang terdapat dalam kumpulan antologi cerpen Senandung Rindu Natuna. Buku kumcer yang pertama di Natuna ini diluncurkan pada Minggu 30 Oktober 2011 di Hotel Natuna dan dipilih dengan cerpen terbaik termasuk karya Sijarmi/Jacena “Tabel Mando” yang menyabet juara ketiga.
Selanjutnya, analisis teks dalam penelitian ini akan menggunakan seluruh kalimat yang ada pada wacana cerpen tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil analisis yang lebih nyata karena masalah kohesi dan konteks situasi menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana.
2.        RUMUSAN MASALAH
Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah:
  1. Bagaimanakah kohesi gramatikal pada cerpen ”Tabel Mando”?
2.      Jenis referensi apa saja yang ditemukan dalam penulisan cerpen Tabel Mando?
3.        TUJUAN PENELITIAN
Secara khusus tulisan ini bertujuan mendeskripsikan jenis-jenis referensi yang ditemukan dalam cerpen Tabel Mando. Sedangkan secara umum diharapkan dapat ikut memberi sumbangan terhadap pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, dengan usaha menemukan kaidah-kaidah yang khusus dalam rangka pembakuan bahasa Indonesia. Tujuan lain ikut memberi sumbangan dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia
4.        MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan acuan dalam usaha memperoleh pengetahuan dan pemahaman sehubungan dengan studi wacana secara umum dan tentang referensi sebagai penanda kohesi dalam cerpen Tabel Mando secara khusus. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk bahan diskusi, pendidikan dan pengajaran, penyusunan materi dan model wacana dalam cerpen untuk para peserta didik.
B.       LANDASAN TEORI
1.        HAKIKAT WACANA
a.        Pengertian Wacana
Cook (1989: 56) menyebut tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Pendapat tersebut sejalan dengan pernyataan Harimurti (2008: 204) bahwa wacana atau dalam Bahasa Inggrisnya ialah 'Discourse' merupakan satuan bahasa yang lengkap, yaitu dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Selanjutnya, Kridalaksana (2008:334) juga mempertegas bahwa dalam satuan kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi besar dan paling tinggi. Hal ini disebabkan wacana-sebagai satuan gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistikmengandung semua unsur kebahasan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi.
Berdasarkan beberapa definisi dan pernyataan tersebut, jelas bahwa wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan berbagai  alat (piranti) yang cukup banyak. Oleh karena itu, kajian tentang wacana menjadi wajib ada dalam proses pembelajaran bahasa. Tujuanya, tidak lain, untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami dan memakai bahasa dengan baik dan benar.
b.        Kohesi Gramatikal
Teori yang digunakan dalam pemecahan masalah adalah teori kohesi yang dikembangkan oleh M.A.K Halliday dan Ruqaiya Hasan dalam bukunya berjudul Cohesion in English (1976). Kohesi adalah alat untuk menyatakan adanya kepaduan di dalam suatu wacana atau paragraf, dan paragraf merupakan tataran di atas kalimat (Riana, 1985:71). Selanjutnya, Halliday dan Hasan (1976:1) mengatakan bahwa teks adalah pemakaian bahasa baik lisan maupun tulisan, dalam bentuk prosa maupun puisi, dalam dialog maupun monolog yang membentuk satu kesatuan gagasan. Teks inilah yang sering disebut dengan wacana. Kohesi muncul jika penafsiran tertentu di dalam sebuah teks sangat bergantung pada penafsiran unsur yang lain di dalam teks yang sama.
Kohesi adalah konsep semantik seperti apa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday dan Ruqaiya Hasan (1976:4) yang dikutip oleh Riana (1989:5) sebagai berikut.
The concept of cohesion is semantic one: it refers to relation of meaning that exist within the text, and that define it as text. Cohesion occur where the Interpretation of some element in the discourse is dependent on that of another. The one presupposes the order, in the sense that it cannot be effectively decoded except by recourse to it. When this happens, a relation of cohesion is setup, and two elements the presuppotion of cohesion is set up, and two element the presuuppotion and the presupposed, are there by least potentially intergrated into text.
(Kohesi adalah sebuah konsep semantik, yang mengacu pada hubungan semantik, yang hadir di dalam teks, dan yang menentukannya sebagai sebuah teks. Kohesi terjadi jika penafsiran unsur-unsur di dalam wacana tergantung pada penafsiran-penafsiran yang lain. Unsur yang dipraanggapkan kepada unsur yang lain, dalam pengertian bahwa unsur itu tidak dapat disusun secara baik kecuali dengan unsur lainnya. Bila hubungan ini terjadi, maka terjadilah hubungan kohesi, dan dua unsur yang mempraanggapkan dan yang dipraanggapkan paling tidak secara potensial sudah terangkum di dalam teks).
Halliday dan Hasan (1976) membedakan kohesi menjadi dua, yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Kohesi gramatikal meliputi penunjukan (reference), penggantian (substitution), dan pelesapan (ellipsis). Sedangkan, kohesi leksikal meliputi perpaduan leksikal (lexical cohesion). Penghubung (conjuction) terleletak antara keduanya, baik secara kohesi leksikal maupun secara kohesi gramatikal.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa penunjukan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekseforis (exophora), yaitu menunjuk sesuatu yang berada di luar teks (sejalan dengan situasi), dan endoforis (endophora) menunjuk sesuatu yang berada di dalam teks. Tipe endoforis ini dibedakan menjadi tiga, yaitu persona, demonstratif, dan komparatif.
Penggantian dan pelesapan masing-masing dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu nominal, verbal, dan klausa. Perpaduan leksikal dibedakan menjadi dua, yaitu kolokasi dan reiterasi. Reiterasi meliputi, sinonim, superordinat, pengulangan, dan kata jenerik. Perangkaian dibedakan menjadi empat, yaitu aditif, adversatif, kausal, dan temporal. Dilihat dari penjelasan kohesi tersebut, yang paling sesuai dengan tulisan ini adalah referensi atau penunjukan apa saja yang ditemukan dalam penulisan cerpen Tabel Mando.
c.         Referensi
Referensi adalah hubungan antara referen dan lambang yang digunakan untuk mewakilinya. Dengan kata lain, referensi merupakan unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa, misalnya benda yang disebut rumah adalah referen kata rumah (lihat Kridalaksana, 1982:144).
Di dalam sebuah wacana ada berbagai acuan seperti pelaku perbuatan, penderita perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan. Pengacuan tersebut sering kali diulang untuk memperjelas makna (Alwi et al., 1993:495). Untuk mendapatkan wacana yang kohesif dan koheren, pengacuan harus jelas. Referensi dapat ditinjau dari segi maujud menjadi acuannya. Dalam kaitan ini, Halliday dan Hasan (1976:31) membagi referensi menjadi dua, yaitu referensi eksoforis dan endoforis. Referensi eksoforis adalah pengacuan terhadap maujud yang terdapat di luar teks (bahasa), seperti manusia, hewan, alam sekitar, atau suatu kegiatan. Referensi endoforis adalah pengacuan terhadap maujud yang terdapat di dalam teks (bahasa), teks yang biasanya diwujudkan oleh pronomina, baik pronomina persona, pronomina demonstratif, maupun pronomina komparatif. Referensi endoforis ini, yang pengacuannya terdapat dalam teks atau bahasa, ditinjau dari arah acuannya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu referensi anaforis dan referensi kataforis.
d.        Hakikat Cerpen
Abrams (1993: 193) menyatakan bahwa “A short story is a brief work of fiction, and most of the term for analyzing the component elements, the types and the various narrative techniques of the novel are applicable to the short story as well”. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek merupakan wacana fiksi yang ditulis dalam bentuk naratif. Meskipun isinya lebih ringkas dari novel dan bersifat fiktif tapi penulisan cerpen tetap menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi agar menjadi sebuah wacana yang utuh dan padu. Selain itu, aspek kontekstual juga sangat penting dalam memahami suatu cerita pendek. Masalah kohesi dan konteks sosial menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana.
C.       METODE PENELITIAN
1.        JENIS PENELITIAN
Penelitian ini mengkaji tentang kepaduan wacana yang ditinjau dari aspek gramatikal  yang melatarbelakangi wacana cerita pendek. Berdasarkan hal tersebut maka jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Menurut Sutopo (2002: 111), penelitian kualitatif deskriptif adalah penelitian yang memusatkan pada deskripsi yang lengkap dan mendalam atas bagaimana dan mengapa sesuatu itu terjadi.
Tahap penyediaan data dilakukan untuk mendapatkan fenomena lingual khusus yang mengandung keterkaitan dengan rumusan masalah. Penyediaan data dilakukan untuk kepentingan analisis. Kemudian, analisis
data dimulai tepat pada saat penyediaan data tertentu yang relevan selesai dilakukan; dan analisis yang sama diakhiri manakala kaidah yang berkenaan dengan objek yang menjadi masalah itu telah ditemukan. (Sudaryanto, 1988:6)
2.        DATA DAN SUMBER DATA
Sudaryanto (1988: 9) menyatakan bahwa data adalah bahan penelitian, dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan, karena di dalam bahan itulah terdapatnya objek penelitian yang dimaksud. Dengan diolahnya bahan itu diharapkan dapat diketahui hakikat objek penelitian. Jadi, dengan rumusan lain, data pada hakikatnya merupakan objek sasaran penelitian beserta dengan konteksnya.
Data dalam penelitian ini adalah satuan lingual berupa kalimat yang mendukung kepaduan dan keutuhan wacana cerpen ”Tabel Mando” karya Sijarmi/Jacena ditinjau dari kohesi gramatikal berupa referensi penanda kohesi. Sumber data dari penelitian ini adalah cerpen berjudul “Tabel Mando” karya Sijarmi/Jacena dalam buku kumpulan cerita pendek  berjudul Sepasang Rindu Natuna.
D.      HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.        HASIL PENELITIAN
1.        Referensi Anaforis
Dalam kaitannya dengan permasalahan referensi anaforis dan referensi kataforis, Kaswanti Purwo (1987:10) menyatakan bahwa persyaratan bagi suatu konstituen yang dapat disebut anafora atau katafora adalah bahwa konstituen tersebut harus berkoreferensi (memiliki referen yang sama) dengan konstituen yang diacunya. Salah satu akibat dari konstituen-konstituen bahasa secara linear adalah memungkinkan adanya konstituen tertentu yang sudah disebut sebelumnya, baik dalam bentuk pronomina persona maupun dalam bentuk pronomina lainnya. Terlihat dalam kutipan Dan Pak Bujanglah yang pertama-tama merasa paling bertanggung jawab atas kebutuhan anaknya itu. Enklitik –nya menunjuk kembali pada konstituen Pak Bujang yang sudah disebut sebelumnya. Pengacuan seperti itulah yang disebut dengan referensi anaforis.
a.         Referensi Anaforis berupa pronomina persona
Referensi anaforis mengacu pada bentuk yang sudah disebutkan sebelumnya (letak kiri). Referensi anaforis biasanya berupa pronomina persona dan pronomina demonstratif. Referensi anaforis yang berupa pronomina persona dapat berwujud enklitik -nya dan kata ganti orang ketiga baik tunggal maupun jamak.
Pronomina persona merupakan bentuk deiksis yang mengacu pada orang secara berganti-ganti. Hal ini sangat bergantung pada ”kiat” yang sedang diperankan oleh pelibat wacana, baik sebagai pembicara (persona pertama), pendengar (persona kedua) atau yang dibicarakan (persona ketiga) (lihat Kaswanti Purwo, 1987). Pronomina persona ketiga yang berupa enklitik –nya mengacu pada bentuk yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Dengan kata lain, enklitik –nya cenderung bersifat anaforis. Berikut ini disajikan pemakaian pronomina persona sebagai referensi anaforis dalam cerpen Bali Tabel Mando.
(1)   Mak Dare adalah wanita yang tegar dan kuat. Ia senantiasa mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Dalam kesehariannya ia menjadi pemalok sagu dan menjual kerupuk atom yang dititipkan ke warung-warung. Itu semua ia lakukan demi membantu suaminya menafkahi keluarga. (hlm. 123)
Pada contoh wacana (1) Mak Dare yang terdapat pada kalimat pertama dalam wacana (1) direferen atau diacu dengan pronomina persona ketiga tunggal, yaitu ia pada kalimat pertama, kedua, dan keempat. Selain itu, Mak Dare yang terdapat pada kalimat keempat dalam wacana (1) itu juga direferen dengan pronomina persona yang berupa enklitik - nya pada kalimat kelima. Pada contoh (1) ini referensi itu baru dapat diketahui setelah melihat hubungannya dengan bagian-bagian lain yang disebutkan sebelumnya (letak kiri). Referensi ia baru dapat diketahui mengacu pada persona tertentu, yaitu Mak Dare, karena telah disebutkan pada bagian sebelumnya, begitu pula halnya dengan referensi yang berupa enklitik -nya juga mengacu kepada Mak Dare.
(2)   Mak Dare dan keluarganya tengah makan malam di rumah mereka. Sambil menyantap makanan seadanya itu, mereka tampak menikmatinya. (hlm. 123)
Pada contoh wacana (2), terjadi proses referensi, yaitu Mak Dare pada kalimat pertama, direferen atau diacu dengan pronomina persona yang berupa enklitik -nya pada kalimat pertama, dan kedua. Dalam wacana itu yang dimaksud dengan enklitik -nya adalah Mak Dare, hal itu dapat diketahui dari konteks kalimat setelah melihat hubungannya dengan bagian-bagian lain yang telah disebutkan sebelumnya.
Referensi seperti yang terlihat pada contoh di atas sangat mendukung kekohesifan dan kekoherenan wacana yang dibangunnya. Dengan memanfaatkan referensi itu sebagai alat pembangun wacana, pengulangan unsur-unsur yang sama dalam penulisan akan terhindar sehingga wacana itu tidak monoton. Wacana yang disusun menjadi tampak lebih variatif dan lebih apik.
b.         Referensi Anaforis berupa Pronomina Demonstratif
Pronomina demonstratif merupakan kata-kata yang menunjuk pada suatu benda. Kata-kata itu bersifat deiktis, yakni menunjuk kepada hal umum, ihwal ataupun tempat. Pronomina demonstratif umum menurut Alwi et al. (1993:287) terdiri atas ini dan itu. Kata itu mengacu ke referen yang agak jauh dari pembicara, ke masa lampau, atau ke informasi yang sudah disampaikan.
Di dalam pemakaiannya, pronomina demonstratif ini dan itu diletakkan sesudah nomina yang dibatasinya. Berikut contoh pemakaiannya dalam wacana cerpen Tabel Mando.
(3)   Suara senda gurau terdengar sayup-sayup dibawa hembusan angin laut Natuna. Suara itu berasal dari gubuk kecil milik Pak Bujang dan Mak Dare di kampong kecil yang tak jauh dari pantai. (hlm. 122)
Pada contoh wacana (3) terjadi proses referensi, yaitu senda gurau pada kalimat pertama direferen atau diacu dengan pronomina demonstratif itu pada kalimat kedua. Dalam wacana (3) yang dimaksud dengan pronomina demonstratif itu pada kalimat kedua adalah senda gurau dapat diketahui mengacu pada persona tertentu setelah melihat konteks sebelumnya.
Penggunaan kata itu yang pengacuannya bersifat anaforis terhadap wacana di atas dapat menciptakan wacana yang apik. Di samping itu, juga dapat dilakukan dengan pemakaian kata ini yang bersifat anaforis, seperti pada contoh berikut.
(4)   Dari raut wajah suaminya itulah Mak Dare terkenang kembali pada sepak terjang suaminya demi membahagiakan keluarga. Ingatan semacam itu kian mengukuhkan akar cintanya kepada sang suami. Tapi kali ini, sang suami tercinta itu hendak pergi melaut pada cuaca yang tengah tidak bersahabat. (hlm.124)
Contoh wacana (4) juga terjadi proses referensi, yaitu sepak terjang suaminya demi membahagiakan keluarga pada kalimat kedua direferen atau diacu dengan pronomina demonstratif ini pada kalimat keempat. Dalam wacana (4) yang dimaksud dengan pronomina demonstratif ini pada kalimat keempat adalah sepak terjang suaminya demi membahagiakan keluarga. Itu diketahui mengacu pada persona tertentu setelah melihat konteks sebelumnya.
c.          Referensi Anaforis Kedefinitan atau Ketakrifan
Untuk mengungkapkan sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dapat dilakukan dengan strategi penyulihan yang koreferensial dengan menggunakan pemarkah ketakrifan atau kedefinitan. Pemarkah-pemarkah yang sering digunakan sebagai penyulih adalah tersebut, begini, dan begitu. Berikut adalah pemakaiannya dalam cerpen Tabel Mando.
(5)   Di wajah suaminya yang telah berusia lanjut itu begitu banyak kerutan, terutama di dahi. Kulitnya yang hitam legam sudah cukup membuktikan bahwa Pak Bujang memang telah lama akrab dengan lautan. (hlm. 124)
Pada contoh wacana (5) terjadi proses referensi, dengan pemarkah kedefinitan, yaitu begitu mengacu kepada berusia lanjut yang sudah disebutkan pada bagian sebelumnya.
2.        Referensi Kataforis
Referensi kataforis mengacu pada bentuk yang ada di belakangnya (letak kanan). Pemakaian referensi yang bersifat kataforis sangat terbatas, tidak seperti pemakaian referensi anaforis yang sangat dominan dalam cerpen Tabel Mando. Jika koreferensi suatu bentuk mengacu pada konstituen yang berada di sebelah kanannya, koreferensi itu disebut katafora. Pada dasarnya, referensi anafora dan katafora dimarkahi oleh bentuk persona, bentuk bukan persona, dan yang berupa konstituen nol (Kaswanti Purwo, 1987:105). Referensi meliputi pronomina persona, pronomina demonstratif, dan pemarkah definit. Berikut adalah uraian setiap bagian referensi tersebut.
a.        Referensi Kataforis berupa Pronomina Persona
Referensi kataforis dapat juga berbentuk pronomina persona, seperti halnya terdapat pada referensi anaforis. Wujudnya kata ganti orang ketiga, baik tunggal maupun jamak. Berikut contoh pemakaiannya dalam cerpen Tabel Mando.
(6)   Sambil mempersiapkan peralatan melaut yang akan dibawanya, Pak Bujang menjawab, “ Dare, kau jangan terlalu terlalu mencemaskan aku seperti itu. Lebih baik kau mendoakanku saja agar aku selamat. (hlm.125)
Pengacuan yang bersifat kataforis sangat jarang ditemukan, tidak seperti pengacuan anaforis yang sangat dominan pemakaiannya. Pada contoh wacana (6) kata nya mengacu pada konsituen di belakangnya, yaitu Pak Bujang.
b.        Referensi Kataforis berupa Pronomina Demonstratif
Referensi kataforis dapat juga berbentuk pronomina demonstratif, seperti halnya terdapat pada referensi anaforis. Di dalam pemakaiannya, pronomina demonstratif ini dan itu diletakkan sebelum nomina yang dibatasinya. Berikut contoh pemakaiannya dalam wacana cerpen Tabel Mando
(7)   Pada saat itu, Mak Dare tengah berbicara dengan Pak Bujang. Mak Dare masih belum puas melarang Pak Bujang pergi ke laut. “Pak, sekarang cuaca sedang tidak bagus, Bapak jangan memaksakan pergi melaut.”
Pengacuan untuk pronomina demonstratif yang bersifat kataforis berdasarkan data yang terkumpul terdapat pada contoh wacan (7) kata itu mengacu pada konsituen di belakangnya, yaitu, berbicara dengan Pak Bujang.
2.    PEMBAHASAN
Dominasi penggunaan aspek referensi sebagai penanda kohesi dalam dalam wacana ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, wacana ini merupakan sebuah wacana naratif yang berciri minimalisme dengan pengungkapan alur cerita yang didominasi oleh penggunaan dialog­dialog singkat, dan dengan tokoh atau karakter yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita. Sehingga untuk menghindari penyebutan kembali nama karakter yang sama secara berulang, penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronomina persona atau personal pronouns. Selain itu dalam setiap dialog disebutkan siapa yang menuturkan dialog tersebut, sehingga aspek pengacuan persona dapat ditemukan dihampir seluruh kalimat data dalam wacana.
Selain itu, secara khusus alasan penggunaan aspek referensi yang mendominasi ini adalah sebagai upaya pengarang untuk memperkenalkan karakteristik dari tokoh-tokoh ceritanya. Dalam cerpen ini pengarang berusaha untuk memperkenalkan karakteristik dari tokoh cerita melalui dialog-dialog minimalis. Hal ini dilakukan dengan cara menyebutkan nomina atau frasa nomina tertentu yang merujuk pada karakter cerita secara berulang-ulang. Penyebutan nomina dan frasa nomina sebagai unsur acuan ini hampir selalu diikuti oleh penggunaan pronomina persona yang merupakan unsur kohesinya.
Jadi, dari hasil analisis  dapat disimpulkan bahwa pengarang ingin pembaca mengenali dan mempelajari karakteristik dari tokoh cerita melalui dialog-dialog singkat tersebut. Dengan kata lain, tanpa melalui komentar dan pendeskripsian yang jelas, pengarang membiarkan pembaca menginterpretasikan sendiri makna cerita dan karakteristik tokoh melalui dialog. Hal ini menyebabkan banyaknya penggunaan pengacuan persona dalam cerpen Tabel Mando. Selanjutnya, pengarang juga berusaha mendeskripsikan suasana atau situasi dalam cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang.
Banyaknya jumlah pengacuan endofora bersifat anafora yang mendominasi aspek referensi dalam wacana cerpen Tabel Mando dapat dipahami karena beberapa alasan, yang pertama, wacana ini berupa cerpen yang tersusun atas dialog-dialog yang saling berhubungan atau memiliki keterkaitan satu sama lainnya, dengan beberapa tokoh/karakter yang relatif sama dari awal hingga akhir cerita, sehingga untuk penyebutan para karakter (setelah penyebutan nama karakter), penulis cerpen lebih banyak menggunakan pronomina persona. Yang kedua, hampir semua pengacuan persona berupa  dalam cerpen ini merupakan pengacuan yang bersifat endofora anaforis, yakni unsur acuan atau antesedennya berada di sebelah kiri atau telah disebutkan sebelumnya. Dari data yang dikumpulkan hanya terdapat beberapa kutipan yang merupakan pengacuan bersifat endofora kataforis.
Selanjutnya, pengarang juga berusaha mendeskripsikan suasana atau situasi dalam cerita melalui penyebutan beberapa nomina secara berulang-ulang. Penyebutan nomina secara berulang ini selalu diikuti oleh pelekatan pengacuan demonstratif berupa deiktis “ini” di depan nomina tersebut. Hal ini pula yang melatarbelakangi dominasi dari penggunaan kohesi gramatikal anaforis jenis referensi demonstratif  berupa deiktis “ini” di dalam wacana cerpen Tabel Mando. Terdapat juga pelekatan pengacuan demonstratif berupa deiktis “ini” di belakang nomina yang melatarbelakangi referensi penggunaan kohesi berupa kataforis. Pengarang berupaya untuk mendeskripsikan kepada pembaca bagaimana situasi atau suasana yang terjadi dalam beberapa alur cerita, misalnya ketika salah satu tokoh cerita bernama Mak Dare  yang secara berulang­ulang disebutkan melakukan beberapa aktivitas di kesibukannya sebagai istri seorang nelayan. Dengan cara ini , pengarang  ingin menyiratkan kepada pembaca bahwa Mak Dare  berusaha menunjukkan kasih sayangnya terhadap keluarga, dengan cara ini juga pembaca dapat memahami dan ikut merasakan situasi ketegangan yang terjadi jika menjadi sosok Mak Dare.
Pengarang dalam mengungkapkan sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya menggunakan referensi dengan strategi penyulihan yang koreferensial dengan menggunakan pemarkah ketakrifan atau kedefinitan.
Dari hasil analisis mengenai wacana cerpen tersebut juga dapat disimpulkan bahwa, memahami sebuah wacana tidak terlepas dari pemahaman mengenai keterkaitan antara teks dan konteks. Analisis wacana ini membuktikan bahwa teks dan konteks adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan dalam sebuah wacana. Hal ini sekaligus membuktikan pendapat dari Halliday dah Hasan (1992: 66) yang menyatakan bahwa setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam memusatkan perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.
Selanjutnya, masing-masing aspek dari kohesi, baik kohesi gramatikal maupun kohesi leksikal, memiliki peran dalam pembentukan sebuah teks dalam wacana, sehingga wacana dapat tersusun secara koheren. Wacana cerpen Tabel Mando adalah wacana yang mempertimbangkan hal-hal tersebut, sehingga meskipun berciri minimalisme tetapi maksud dan tujuan yang terkandung dalam cerpen tetap tersampaikan secara jelas. Hal ini kembali membuktikan pendapat Halliday dan Hasan (1976:5) yang menyatakan bahwa kohesi merupakan satu set kemungkinan yang terdapat dalam bahasa untuk menjadikan suatu 'teks' itu memiliki kesatuan. Kohesi gramatikal dalam wacana cerpen ini direalisasikan dalam ke empat jenis piranti aspek gramatikal, yaitu pengacuan atau referensi, penyulihan atau substitusi, pelesapan atau elipsis, dan perangkaian atau konjungsi.

E.       PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa referensi adalah hubungan antara referen dan lambang yang digunakan untuk mewakilinya. Referensi sebagai penanda kohesi dalam cerpen Tabel Mando dibedakan menjadi (a) referensi anaforis dan (b) referensi kataforis. Baik referensi anaforis maupun kataforis dapat diacu oleh konstituen yang berupa pronomina persona, pronomina demonstratif, dan pemarkah kedefinitan. Dalam tulisan ini, pengacuan yang bersifat kataforis sangat jarang ditemukan, tidak seperti pengacuan anaforis sangat dominan pemakaiannya.
DAFTAR PUSTAKA

Cook, G. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press.
Halliday, M.A.K & Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman
House.
Halliday, M.A.K & Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-
aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial. Terjemahan
(1992). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Kridalaksana, H. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Rani, Abdul dkk.2004. Analisis Wacana Sebuah Kajian Bahasa dalam
Pemakaian. Malang: Bayumedia.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas
Maret University Press.


Sabtu, 17 Maret 2012

my daddy = my super heroes

thankyou dad thankyou dad thankyou dad..
ayah aku emang super heroes deh :)
kejadian yang hampir membunuhku.. #lebay dikit deh

tadi siang aku disuruh masak nasi,, tapi ini yakin lohh airnya udah pas -____-.. eh eh kok pas mateng malah jadi bubur nasinya :D
akakakaka namanya juga chef handal "dapat merubah apapun menjadi hancur"
sontak lah ibu marah2 -____-
krik krik udah merinding dehh..
ibu said : siapa yg masak nasi ?? goblok bgtt?? sampe kaya bubur gini..
aku diem aja deh, lagian ibu pasti tau deh kalo aku yg buat :)
eh ayah dateng bilang.. ayah yg masak nasinya, bu..
oohh so surprise .
aku terselamatkan dari kecaman sang ibu :D
ibu aku ngomel2 ngomong sendiria deh tuhh..
ayah said : maafin ayah yah bu, orang pas dimasak udh pas qo airnya..
and, me ???

ohh god thank you so much,
thank god, you have given me a father figure who could protect mefrom any problems :)
love you daddy :)